Biaya kuliah selama S1 masih sepenuhnya ditanggung oleh ayah. Juga biaya hidup sehari-hari masih sepenuhnya dari kocek ayah. Mulai lepas dari orang tua saat kuliah S2, dan sedikit mendapat bantuan berupa kiriman indomie dan susu , sebaliknya saya sudah berani menyumbang ongkos beli-beli sabun di rumah setelah mendapatkan honor dari les privat dan asisten di kampus. Saya benar-benar lepas dari orang tua- dalam arti beban materi- ketika saya kuliah S3. Bahkan sudah bisa membiayai kedua adik saya yang masih kuliah di Ujung Pandang saat itu.
Mengingat track record seperti di atas, saya masih kalah dibandingkan dengan remaja Jepang yang benar-benar mandiri sejak kuliah S1. Bahkan ada beberapa di antaranya yang sudah tidak lagi minta uang jajan kepada ortu sejak duduk di bangku SMA. Mengapa demikian?
Salah satu kelebihan yang dimiliki remaja di Jepang adalah kesempatan kerja yang terbuka dan lapangan kerja yang luas. Anak-anak SMA sudah diperbolehkan bekerja sambilan di restoran, di toko-toko, tempat parkir, pusat keramaian, dll pada hari libur dan sepulang sekolah.Dari hasil tabungan tersebut mereka dapat membeli macam-macam barang yang disukainya. Bekerja sambilan tidak saja dilakukan oleh anak-anak dari keluarga menengah ke bawah, tidak sedikit dari kalangan berpunya yang juga mencicipi kerja sambilan karena orang tua tidak dengan mudah mengucurkan isi pundi-pundinya kepada anak-anaknya.
Sewaktu saya kuliah doktoral di Nagoya University, setiap awal semester saya selalu bertemu dengan teman-teman Jepang yang mengajukan keringanan SPP. Status mereka sama dengan saya, yaitu dokuritsu gakusei (mahasiswa mandiri). Bedanya hanya saya mahasiswa asing, sedangkan mereka mahasiswa Jepang. Kata “dokuritsu” berarti mereka sama sekali tidak lagi tinggal dengan orang tua, hidup sendiri di apartemen, tidak mendapat kiriman dari orang tua atau wali apapun. Mereka hidup dan membayar biaya kuliah dari hasil bekerja sambilan.
Seorang ibu yang belajar bahasa Indonesia kepada saya juga menceritakan bahwa dia melepas anak semata wayangnya untuk kuliah di Australia selepas SMA, dan tidak terlalu memberinya uang saku, karena si anak mendapat beasiswa dan bekerja sambilan di sana. Anaknya juga sudah mulai bekerja sambilan sejak duduk di bangku SMA.
Usia kemandirian tampaknya berbeda di setiap bangsa dan komunitas. Di Arab, saya dengar kabar remaja-remaja lebih cepat hidup mandiri, bukan karena pekerjaan tetapi karena kekayaan yang diberikan orang tuanya, sehingga dalam usia muda sudah mampu membina rumah tangga. Di dalam komunitas suku Minang, anak laki-laki sudah mulai tinggal di surau pada masa SMA dan mulai malu hidup dan menggantungkan diri kepada orang tua.
Kemandirian tidak saja terbatas pada masalah materi, tetapi juga mandiri dalam bersikap dan mengambil keputusan. Seorang remaja Jepang kenalan saya berani memutuskan untuk belajar di Indonesia, dan dia tidak pernah meminta sokongan dana sedikitpun dari orang tuanya. Modal yang dipakainya untuk hidup di Indonesia adalah hasil tabungan kerja kerasnya selama berada di Jepang, dan beasiswa dari pemerintah Jepang. Uang beasiswa yang lebih kecil jumlahnya daripada yang saya terima saat berada di Jepang itu ditabungnya untuk persiapan biaya kuliah sepulangnya ke Jepang nanti. Kehati-hatiannya dalam membelanjakan uang mencerminkan betapa remaja tersebut mendapat didikan yang baik tentang hidup sederhana dan tanggung jawab penuh.
Beberapa waktu lalu, dia menanyakan apakah semua orang Indonesia menganggap orang Jepang banyak uangnya? Saya jawab, ya. Bagi mereka yang tidak pernah ke Jepang dan melihat langsung kehidupan orang Jepang, tentulah mereka selalu beranggapan bahwa orang Jepang kaya. Remaja teman saya kemudian bercerita bahwa dia agak kesulitan untuk memenuhi permintaan seorang kenalan baiknya (orang Indonesia) yang selalu meminta oleh-oleh barang made in Japan. Sementara, dirinya sendiri di Jepang, berusaha menahan diri untuk tidak membeli produk-produk Jepang karena harganya yang tidak terjangkau atau membeli produk Cina yang mirip dengan produk Jepang. Saya katakan, boleh jadi permintaan tersebut adalah basa-basi dan tidak selalu harus dipenuhi.
Barangkali banyak yang tidak tahu bahwa orang Jepang sangat serius menanggapi pembicaraan lawan bicaranya. Jika ada yang meminta sesuatu kepada mereka, maka dengan sepenuh hati mereka akan memenuhinya, sekalipun untuk keperluan itu mereka harus berhemat. Jika tidak dipenuhi permintaan tersebut, mereka khawatir akan mengganggu hubungan pertemanan, dan keharmonisan. Oleh karena itu, selama saya berada di Jepang, teman-teman Jepang saya belum pernah titip dibelikan ini itu setiap kali saya bepergian atau pulang ke Indonesia. Alasannya karena itu akan memberatkan saya. Dan saya pun demikian, saya tidak pernah titip dibelikan sesuatu kepada mereka, sekalipun mereka menawarkan.
Ya, kemandirian remaja Jepang ketika mereka berada dalam komunitasnya, mungkin tidak ada permasalahan berarti karena semua orang berpemahaman sama. Tetapi, tampaknya makna kemandirian dan keengganan merepotkan orang lain tidak selalu sama dalam setiap komunitas. Pelan-pelan teman saya akan memahami perbedaan dan keragaman itu, dan saya kira dia akan bisa melewati masalah-masalahnya.