SISI SOSIAL REMAJA INDONESIA

Posted by Unknown



Seperti kebanyakan manusia lainnya, semua orang pasti mempunyai jiwa sosila atau sisi sosial untuk sesama maupun pada makhluk lain. terutama remaja,mereka sedang berada dalam keadaan yang labil yang membutuhkan bantuan sosial dan moril.
tidakhanya dari keluarga,lingkungan juga dari individu sendiri.
apakah membingungkan?
sisi sosial dari remaja sekarang adalah dimulai dari jejaring sosial hingga kehidupan sehari hari. budaya silaturahmi merupakan salah satu kegiatan sosila untuk mempererat persaudaraan. di facebook atau di twiter remaja juga dapat memberikan komentar tentang apa yang di uploud temannya merupakan salah satu perbuatan sosial karena perhatian .
tetapi jejaring sosial tidak selalu memberikan dampak positif perlunya ada pengawasan dan pengertian juga pengetahuan tentangnya.





budayakan sikap sosial kepada makhluk untuk menjadikan indonesia sebagai negara yang dihormati dan disegani di dunia.
inilah tugas bagi generasi muda  ................................

Kita Untuk Indonesia

Posted by Unknown


Apakah mutu pendidikan kita rendah ?

Kurasa tidak,tapi pendidikan kita belum berkembang sempurna karena kita belum berusaha untuk mengembangkannya.
sebagai generasi penerus bangsa seharusnya kita berusa agar indonesia ini jaya.
suatu saat nanti pendidikan kita bisa melebihi finlandia yang katanya pendidikannya terbaik didunia.
tunggu saja permainannya, bila kita,pemerintah terus berupay dan terus berinovasi untuk mengembangjkan pendidikan.
kalau kiuta yakin kita pasti bisa broo ?
sekar5ang tergantung dari diri kamu ada niatan gak buat mencerdaskan bangsa ?
kalau ada dari sekarang rajinlah belajar tuk menjadi orang yang terbaik

apa yang kamu dapat adalah hasil dari usahamu ? so, jadilah yang terbaik dibidangmu dan janganlah putus asa tuk indonesia kita ini ookkk


salam juang untuk indonesia

RENUNGANKU

Posted by Unknown


Merendahlah


Saya perlu menasehati diri pribadi agar senantiasa menjadi seperti padi, menunduk dan merendah ketika bulirnya semakin berisi, ke manapun dan di manapun saya ditakdirkan berada.Nasehat itu perlu disampaikan berulang-ulang karena saya adalah makhluk yang selalunya alpa.
Dalam pergaulan saya dengan beberapa orang, ada di antaranya yang ketika mulai berbicara langsung mendahulukan pangkat dan jabatan yang melekat padanya, ada juga yang menyebut-nyebut prestasinya. Ada juga yang membawa-bawa nama-nama si Anu pejabat sebagai kenalan akrabnya atau familinya. Ada juga orang tua yang mungkin tak sengaja membawa-bawa nama anaknya yang sudah menjadi orang.
Tetapi ada pula yang dengan santun menunggu saya memperkenalkan diri, dan pada gilirannya hanya menyebutkan namanya saja, padahal dia adalah orang yang sangat mulia dan terhormat dari segi ilmu dan kefakihannya.
Sifat mengagung-agungkan diri, dan enggan merendah di hadapan lawan bicara, sebenarnya adalah sifat dasar manusia yang tak ingin dikalahkan oleh kehebatan lawan bicara, sehingga apa yang seharusnya kita simpan sebagai pengetahuan internal, sebagai bentuk kerendahan hati, terbongkar karena ketidakmampuannya menahan diri.
Semua orang enggan mendengarkan hinaan dan menerima perendahan martabat, karenanya kadang-kadang dia harus berbohong menyembunyikan statusnya yang sebenarnya.Tetapi kebohongan adalah barang busuk yang pasti tak lama waktunya akan tercium baunya. Karenanya lebih baik meninggalkannya. Berhenti berpura-pura, dan memilih terus terang tentang kondisinya yang sebenarnya adalah lebih mulia, daripada mengharapkan pujian manusia.
Membanggakan diri biasanya dimiliki oleh anak-anak kecil, ketika dia berada di antara teman-temannya. Seorang anak pasti ingin menjadi idola, disukai banyak temannya. Karenanya dia kadang-kadang berbicara berlebihan. Orang dewasa katanya lebih dapat menahan diri. Tetapi, sebenarnya dalam kenyataan sehari-hari, banyak orang dewasa yang lebih kekanak-kanakan, dengan membangga-banggakan harta dan jabatannya.
Ketinggian derajat, kekayaan harta, kebagusan nama, dan kehormatan diri yang tertinggi hanyalah kepunyaan Allah. Apa-apa yang kita miliki sekarang tidaklah datang dengan sendirinya, tetapi dengan kehendakNya, maka itu semua dapat terjadi.Karenanya tidak pantas kita memmbanggakannya di hadapan sesama makhluk Allah, apalagi di hadapanNya kelak.

PIKIRAN MASYARAKAT TENTANG SEKOLAH

Posted by Unknown


Sekolah dan Masyarakatnya


Dalam konsep Manajemen Berbasis Sekolah dan dalam era desentralisasi daerah, maka sekolah harus dikembangkan berdasarkan potensi masyarakat. Potensi dalam tanda kutip dipahami atau diarahkan sebagai “uang”-nya masyarakat. Lalu, siapakah masyarakat itu? Inipun disimpulkan sebagai orang tua dari siswa-siswa di sekolah itu. Definisiya sedikit berkembang pada pengusaha di kota tersebut. Tetapi bukankah lagi-lagi yang dimaksud adalah “si pemilik uang”?
Saya pikir, pemaknaan “potensi” dan “masyarakat” dalam konsep MBS di negara kita barangkali telah salah persepsi, dan perlu diluruskan. Me-link-kan sekolah dan masyarakat sebenarnya bukan hal baru. Dewey sudah mengangkatnya pada awal abad ke-20, dalam bukunya The School and Society. Tetapi konsep Dewey agak berbeda, karena Dewey lebih menyoroti relevansi pembelajaran di sekolah dengan kondisi masyarakat, sementara SBM memfokuskan pada pengelolaan sekolah berbasis potensi (dukungan finansial) masyarakat.
Apabila “masyarakat” dimaknai sebagai sumber finansial semata bagi sekolah, maka tentulah ada “Sekolah Tanpa Masyarakat”, artinya sekolah yang tidak mendapatkan pendanaan dari masyarakatnya karena notabene siswanya adalah siswa dari golongan ekonomi lemah.
Oleh karena itu “masyarakat” dalam proses pendidikan di sekolah seharusnya diluruskan pemaknaannya sebagai lingkungan (orang, makhluk hidup, alam, aktivitas) yang ada di sekeliling sekolah dalam radius tertentu. Masing-masing komponen tersebut harus difungsikan dalam proses pendidikan di sekolah.
Karena kebanyakan anak yang bersekolah tinggal jauh dari lingkungan sekolah, maka orang tua si anak tidak bisa mengontrol ketika anaknya sudah berangkat dari rumah. Yang lebih memungkinkan memberikan kontribusi dalam proses pendidikan adalah warga yang ada di sekitar sekolah. Itulah masyarakat sekolah yang sesungguhnya.
Lalu, bagaimana memfungsikan masyarakat sekolah yang sesungguhnya? Salah satu fungsinya adalah menjadi pengawas siswa secara tidak formal. Bukan bantuan pendanaan yang terpenting dalam pengembangan sekolah, tetapi uluran tangan mereka untuk membantu bapak ibu guru membina siswa-siswanya.
Masyarakat sekolah dapat dijadikan sumber belajar bagi siswa. Kantor-kantor, bank, toko, bengkel hingga warung-warung yang ada di sekitar sekolah adalah tempat-tempat yang bisa menjadi sarana belajar siswa, asalkan pihak sekolah mengkomunikasikan ini terlebih dahulu kepada warga tersebut. Warung dan restoran menjadi tempat siswa belajar tentang jual beli, perbankan menjadi tempat belajar peredaran uang, toko sebagai tempat belajar bisnis, dll.
Namun, kenyataannya, kepala sekolah dan guru kebanyakan hanya berkonsentrasi di dalam sekolah, dan melupakan warga sekitar sekolah sebagai potensi yang dapat dimanfaatkan. Ketika kepala sekolah baru ditunjuk di sebuah sekolah, langkah pertama yang dia lakukan adalah konsolidasi ke dalam, yaitu dengan para guru dan staf sekolah. Setelah itu konsolidasi ke luar. Tetapi konsolidasi ke luar yang dimaksud adalah menyambangi dinas P dan K, mendatangi pengawas sekolah, dll. Konsolidasi kepada warga yang sehari-harinya tinggal dan beraktivitas di sekitar sekolah, hampir tidak pernah dilakukan, padahal siswa-siswa menghabiskan waktunya pada jam istirahat, atau jam pulang sekolah di tempat-tempat tsb.
Masyarakat di sekitar sekolah, merekalah yang sebenarnya lebih mengetahui kehidupan siswa pasca sekolah sebelum dia sampai ke rumahnya.Barangkali mereka juga lebih tahu geng-geng siswa yang sering memicu tawuran.
Karenanya, pihak sekolah (kepala sekolah, guru, staf) hendaknya mulai memikirkan bagaimana merangkul sebanyak orang untuk membantu proses pendidikan siswa-siswanya.

PARENTS

Posted by Unknown


PARENTS


Kalau ditanya dengan siapa Anda ingin berteman? Tentulah kita akan memilih teman sebaya. Sangat jarang anak muda yang ingin berteman dengan orang tua, atau sangat jarang anak-anak ingin berteman dengan orang dewasa. Tetapi, sungguh orang-orang tua ingin sekali berteman dengan yang muda-muda.
Sepanjang ingatan, saya sudah bergaul dengan orang tua (terutama ibu-ibu) pada usia belumlah genap 25 tahun. Saya masih kuliah S1 di IPB ketika sekelompok ibu-ibu sepuh meminta saya mengajari mereka membaca Al-Quran dan tafsirnya. Saya tidak menyangka muncul kesabaran menghadapi mereka. Mengajari anak-anak membaca Al-Quran adalah lebih mudah ketimbang orang tua yang sudah memudar daya ingatnya.
Pernah ada murid saya yang tangannya selalu bergetar (tremor) saat memegang Al-Quran. Beliau membaca dengan sangat terbata-bata, tetapi semangat belajarnya yang tinggi membuat saya tidak pernah absen mengajarinya, sekalipun saya harus melewati hujan lebat. Selesai pengajian, ada saja ceritanya tentang anak-anaknya yang sudah pergi, tentang kehidupannya yang seorang diri, dan tentang hipnotis yang dialaminya sehingga hilang uang di ATM. Dia tak pernah bosan bercerita, dan saya tidak pernah bosan mendengar dan mengomentari.
Di kelompok ibu-ibu pengajian, berbagai masalah mereka keluhkan, seakan saya memahami semua ilmu. Saya bagaikan seorang psikolog, konsultan rumah tangga, dan sekaligus konsultas pengasuhan anak. Pada umur yang masih belia waktu itu, saya merasa mengetahui sesuatu lebih awal daripada generasi sebaya.
Ketika berada di Jepang, entah mengapa semakin banyak teman-teman dari kalangan generasi tua yang berusia 70 hingga 80 tahun. Mereka sering sekali mengajak saya mengobrol di kampus ataupun di rumah. Menurutnya, tak banyak orang asing yang bisa diajak bercanda dan mengobrol, dan saya termasuk yang betah mendengarkan cerita orang, sebab saya pun gemar bercerita.
Sepulangnya ke Indonesia, saya kembali berkumpul dan berteman dengan ibu-ibu sepuh. Mereka tergabung dalam kelompok pengajian di Masjid Al-Muhajirin Payung Asri Semarang. Sekalipun saya jarang-jarang datang dalam majelis mereka, tetapi selalunya saya disambut dengan ramah. Hal yang paling mengasyikkan selain mengaji bersama setelah sholat subuh dan tarawih, adalah mengobrol tentang berbagai persoalan keseharian.
Bergaul dengan orang tua adalah sebuah kawah pengingat, bahwa kita pun akan melewati masa itu. Berbicara dengan mereka telah mendatangkan pemahaman tentang pahit dan manisnya hidup yang akan saya lewati kelak. Perbedaan pemahaman dan kebiasaan dikarenakan generasi yang terpisah, tidaklah menjadi penghalang kenikmatan kami berbagi cerita.
Banyak di antara mereka yang sangat cerewet dan terkesan ingin selalu dibenarkan, tetapi adapula yang sangat bijak dan santun ucapannya. Barangkali demikian pula kelak saya kalau sudah menginjak usia yang sama. Secerewet apapun mereka, yang bisa dilakukan oleh orang yang lebih muda seperti saya adalah bersabar dan menjadi pendengar yang baik. Katanya, orang tua adalah anak-anak yang tubuhnya menjadi renta, tetapi alam berpikirnya kadang-kadang menjadi kekanak-kanakan. Tetapi ada di antara orang-orang tua yang masih menganggap diri memiliki hegemoni terhadap yang muda. Satu-satunya senjata untuk menghadapi ini hanya bersabar dan berusaha memberikan jawaban yang menyenangkan hatinya.
Orang tua yang paling dekat bergaul dengan kita tentu saja ibu. Dia adalah kisah hidup yang dapat kita baca sehari-hari suka dukanya. Saya mengenal mamak saya sebagai wanita yang sangat lembut, dan gampang sekali menangis tatkala mendengar anak dan cucunya kesusahan. Tangannya selalu dengan ringan mengelus kepala anak-anak yang ada di dekatnya. Mamak juga sama dengan ibu-ibu yang lain, sering bercerita tentang obrolan yang didengarnya di majelis pengajian atau di acara arisan dan senam lansia yang rutin diikutinya.
Mari kita camkan ajakan Rasulullah SAW berikut ini :
“Sebagian tanda memuliakan Allah, yaitu menghormati orang muslim yang sudah putih rambutnya.” (HR. Abu Daud)
“Bibi (Saudara perempuan ibu atau bapak) itu sama dengan kedudukan ibu” (HR. Tirmidzi)
Dari Ibnu Umar RA, ia berkata, Nabi SAW bersabda, “Sebaik-baik berbakti seseorang ialah menghubungi teman-teman ayahnya”

Posted by Unknown


Apa rahasia keberhasilan pendidikan Finlandia ?



Pendidikan mereka lebih menekankan pada Pendidikan Usia Dini (PAUD). Untuk tiap bayi yang lahir kepada keluarganya diberi maternity package yang berisi 3 buku bacaan untuk ibu, ayah, dan bayi itu sendiri. Alasannya, PAUD adalah tahap belajar pertama dan paling kritis dalam belajar sepanjang hayat. Sebesar 90% pertumbuhan otak terjadi pada usia balita dan 85% brain paths berkembang sebelum anak masuk SD (7 tahun). Kegemaran membaca aktif didorong sejak masih kecil.
Pendidikan di Finlandia adalah tidak memaksa anak didik dalam belajar, beda dengan Indonesia yang kurikulumnya dijejali dengan banyak sekali ragam kurikulum. Finlandia menerbitkan lebih banyak buku anak-anak daripada negeri mana pun di dunia.
Guru diberi kebebasan melaksanakan kurikulum pemerintah, bebas memilih metode dan buku teks. Stasiun TV menyiarkan program berbahasa asing dengan teks terjemahan dalam bahasa Finish sehingga anak-anak bahkan membaca waktu nonton TV. Pendidikan di sekolah berlangsung rileks dan masuk kelas siswa harus melepas sepatu, hanya berkaus kaki. Belajar aktif diterapkan guru yang semuanya tamatan S2 dan dipilih dari the best ten lulusan universitas. Orang merasa lebih terhormat jadi guru daripada jadi dokter atau insinyur.
Frekuensi tes benar-benar dikurangi. Ujian nasional hanyalah Matriculation Examination untuk masuk PT. Sekolah swasta mendapatkan dana sama besar dengan dana untuk sekolah negeri. Sebesar 25% kenaikan pendapatan nasional Finlandia disumbangkan oleh meningkatnya mutu pendidikan.
Finlandia dikenal pula dengan negara yang paling bersih dari korupsi, beberapa negara sempat terheran heran dengan kualitas pendidikan dan karakter orang finlandia yang anti korupsi. Negara ini sangat maju sekali dalam bidang tekhnologi
Rasanya terlalu banyak penulis menuliskan kehebatan dan keberhasilan pendidikan Finlandia dalam menciptakan SDM yang berkualitas. Jangan-jangan kita malah berpikir bahwa seharusnya inilah sistem pendidikan terbaik yang bisa terapkan.
Pertanyaannya adalah apakah kita juga harus belajar dari Finlandia dalam membangun sistem pendidikan kita ?
Boleh-boleh saja kita belajar atau mungkin studi banding ke Finlandia untuk melihat sistem pendidikan disana. Tak ada salahnya menambah referensi dan wawasan dengan melihat lebih dekat sebuah sistem pendidikan yang terbukti berhasil membangun SDM yang cerdas, terampil dan berintergritas.
Tapi seperti pepatah mengatakan lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Tak selamanya yang terbaik di Finlandia dapat diterapkan di Indonesia. Yang pasti kita punya demografi, karakter, iklim, latar belakang sejarah serta budaya yang berbeda.

Posted by Unknown


Kisah Seorang Remaja Jepang


Biaya kuliah selama S1 masih sepenuhnya ditanggung oleh ayah. Juga biaya hidup sehari-hari masih sepenuhnya dari kocek ayah. Mulai lepas dari orang tua saat kuliah S2, dan sedikit mendapat bantuan berupa kiriman indomie dan susu  , sebaliknya saya sudah berani menyumbang ongkos beli-beli sabun di rumah setelah mendapatkan honor dari les privat dan asisten di kampus. Saya benar-benar lepas dari orang tua- dalam arti beban materi- ketika saya kuliah S3. Bahkan sudah bisa membiayai kedua adik saya yang masih kuliah di Ujung Pandang saat itu.
Mengingat track record seperti di atas, saya masih kalah dibandingkan dengan remaja Jepang yang benar-benar mandiri sejak kuliah S1. Bahkan ada beberapa di antaranya yang sudah tidak lagi minta uang jajan kepada ortu sejak duduk di bangku SMA. Mengapa demikian?
Salah satu kelebihan yang dimiliki remaja di Jepang adalah kesempatan kerja yang terbuka dan lapangan kerja yang luas. Anak-anak SMA sudah diperbolehkan bekerja sambilan di restoran, di toko-toko, tempat parkir, pusat keramaian, dll pada hari libur dan sepulang sekolah.Dari hasil tabungan tersebut mereka dapat membeli macam-macam barang yang disukainya. Bekerja sambilan tidak saja dilakukan oleh anak-anak dari keluarga menengah ke bawah, tidak sedikit dari kalangan berpunya yang juga mencicipi kerja sambilan karena orang tua tidak dengan mudah mengucurkan isi pundi-pundinya kepada anak-anaknya.
Sewaktu saya kuliah doktoral di Nagoya University, setiap awal semester saya selalu bertemu dengan teman-teman Jepang yang mengajukan keringanan SPP. Status mereka sama dengan saya, yaitu dokuritsu gakusei (mahasiswa mandiri). Bedanya hanya saya mahasiswa asing, sedangkan mereka mahasiswa Jepang. Kata “dokuritsu” berarti mereka sama sekali tidak lagi tinggal dengan orang tua, hidup sendiri di apartemen, tidak mendapat kiriman dari orang tua atau wali apapun. Mereka hidup dan membayar biaya kuliah dari hasil bekerja sambilan.
Seorang ibu yang belajar bahasa Indonesia kepada saya juga menceritakan bahwa dia melepas anak semata wayangnya untuk kuliah di Australia selepas SMA, dan tidak terlalu memberinya uang saku, karena si anak mendapat beasiswa dan bekerja sambilan di sana. Anaknya juga sudah mulai bekerja sambilan sejak duduk di bangku SMA.
Usia kemandirian tampaknya berbeda di setiap bangsa dan komunitas. Di Arab, saya dengar kabar remaja-remaja lebih cepat hidup mandiri, bukan karena pekerjaan tetapi karena kekayaan yang diberikan orang tuanya, sehingga dalam usia muda sudah mampu membina rumah tangga. Di dalam komunitas suku Minang, anak laki-laki sudah mulai tinggal di surau pada masa SMA dan mulai malu hidup dan menggantungkan diri kepada orang tua.
Kemandirian tidak saja terbatas pada masalah materi, tetapi juga mandiri dalam bersikap dan mengambil keputusan. Seorang remaja Jepang kenalan saya berani memutuskan untuk belajar di Indonesia, dan dia tidak pernah meminta sokongan dana sedikitpun dari orang tuanya. Modal yang dipakainya untuk hidup di Indonesia adalah hasil tabungan kerja kerasnya selama berada di Jepang, dan beasiswa dari pemerintah Jepang. Uang beasiswa yang lebih kecil jumlahnya daripada yang saya terima saat berada di Jepang itu ditabungnya untuk persiapan biaya kuliah sepulangnya ke Jepang nanti. Kehati-hatiannya dalam membelanjakan uang mencerminkan betapa remaja tersebut mendapat didikan yang baik tentang hidup sederhana dan tanggung jawab penuh.
Beberapa waktu lalu, dia menanyakan apakah semua orang Indonesia menganggap orang Jepang banyak uangnya? Saya jawab, ya. Bagi mereka yang tidak pernah ke Jepang dan melihat langsung kehidupan orang Jepang, tentulah mereka selalu beranggapan bahwa orang Jepang kaya. Remaja teman saya kemudian bercerita bahwa dia agak kesulitan untuk memenuhi permintaan seorang kenalan baiknya (orang Indonesia) yang selalu meminta oleh-oleh barang made in Japan. Sementara, dirinya sendiri di Jepang, berusaha menahan diri untuk tidak membeli produk-produk Jepang karena harganya yang tidak terjangkau atau membeli produk Cina yang mirip dengan produk Jepang. Saya katakan, boleh jadi permintaan tersebut adalah basa-basi dan tidak selalu harus dipenuhi.
Barangkali banyak yang tidak tahu bahwa orang Jepang sangat serius menanggapi pembicaraan lawan bicaranya. Jika ada yang meminta sesuatu kepada mereka, maka dengan sepenuh hati mereka akan memenuhinya, sekalipun untuk keperluan itu mereka harus berhemat. Jika tidak dipenuhi permintaan tersebut, mereka khawatir akan mengganggu hubungan pertemanan, dan keharmonisan. Oleh karena itu, selama saya berada di Jepang, teman-teman Jepang saya belum pernah titip dibelikan ini itu setiap kali saya bepergian atau pulang ke Indonesia. Alasannya karena itu akan memberatkan saya. Dan saya pun demikian, saya tidak pernah titip dibelikan sesuatu kepada mereka, sekalipun mereka menawarkan.
Ya, kemandirian remaja Jepang ketika mereka berada dalam komunitasnya, mungkin tidak ada permasalahan berarti karena semua orang berpemahaman sama. Tetapi, tampaknya makna kemandirian dan keengganan merepotkan orang lain tidak selalu sama dalam setiap komunitas. Pelan-pelan teman saya akan memahami perbedaan dan keragaman itu, dan saya kira dia akan bisa melewati masalah-masalahnya.